JANGAN MEMBUAT HATI SEBAGAI WADAH KEHIDUPAN YANG SEMPIT



Oleh: Anggrek Lestari Asy-Syifa
           
 Pernahkah kita berpikir bahwa kelahiran kita  berawal dari masalah? Ya, sederhana saja, kita terlahir karena antara kedua orang tua kita memiliki masalah ‘bagaimana caranya untuk meneruskan keturunan’, akhirnya lahirlah kita sebagai generasi penerus.
            Nah, hidup adalah awal dari masalah. Tanpa masalah, bukan hidup namanya. Masalah datang silih berganti diberikan Tuhan agar kita mampu mendapat pelajaran dari masalah tersebut dan menjadi manusia yang terus memberikan sesuatu yang berguna bagi kehidupan itu sendiri.


            Seringkali kita terbebani dengan masalah yang ada. Kita merasa memiliki masalah yang sangat berat, hingga hidup ini terasa pahit. Terkadang, kita juga merasa Tuhan tidak adil ketika kita melihat orang lain bisa hidup tenang tanpa terlihat ada suatu masalah.
            Sebenarnya kita semua sama. Sama-sama memiliki masalah. Yang berbeda hanyalah sikap kita, bagaimana menyikapi dan memerlakukan masalah tersebut.
            Dalam hal ini saya mencoba mengambil sebuah anolagi atau perumpamaan. GARAM itu ibarat masalah dalam hidup ini. Jadi begini, saat memiliki banyak garam kita taburkan dalam segelas air, pasti air itu akan terasa pahit. Lalu, kita coba taburkan garam dalam jumlah yang sama ke dalam seember air, pasti rasa pahit tak ada. Yang ada hanyalah rasa asin sedikit. Nah, terakhir kita coba taburkan garam ke dalam air yang memiliki wadah lebih besar lagi seperti sungai atau lautan, pasti garam tersebut takkan terasa lagi.
            Begitulah. Hati ibaratkan wadah air yang menampung garam tersebut. Semakin sempit wadah, maka rasa yang tercipta pahit. Semakin besar wadah, maka garam takkan terasa lagi.
            Oleh sebab itu, jangan jadikan hati sebagai wadah kehidupan yang sempit karena akan membuat hidup kita terasa sangat berat (pahit). Padahal, masih banyak orang lain diluar sana yang memiliki masalah lebih besar lagi.
            Sikap kitalah yang menentukan bagaimana masalah tersebut kemudian bisa kita selesaikan. Apakah kita hanya terus-terusan berlari dari masalah? Apakah kita hanya memikirkan solusi tanpa melakukan solusi? Atau apakah kita mampu menggenggam masalah tersebut seperti halnya kita menggenggam garam?
            Bijaksanalah dalam menyelesaikan masalah. Sebijaksana kita dalam memilih untuk berani bertahan hidup (karena tak semua orang mampu untuk memilih bertahan hidup, justru memilih mengakhiri dengan cara tragis).
Kamar Hijau,
Binjai, 22 April 2013

Komentar