Saya Sebagai Salah Satu Pembicara dalam Launching dan Bedah Karya Buku Embart Nugroho
Saya merasa senang sekali untuk yang pertama kalinya bisa menjadi salah satu pembicara di acara Launching dan bedah buku karya Embart Nugroho di Perpustakaan Daerah Sumatera Utara Medan, Jumat, 27 Oktober pukul 17.00 Wib.
Berikut review-nya yang saya kutip dari http://www.analisadaily.com/news/50876/cinta-masih-ada-dibedah-di-pusda-sumut
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Cinta Masih Ada Dibedah di Pusda Sumut
Oleh: Ris Pasha. JANGAN katakan
novel Teenlit, Novel Pop, Novel Chiklit, Metro Pop dan sebagainya. Novel
adalah novel dan semuanya adalah karya sastra. Setiap novel memiliki
cara dan gayanya sendiri-sendiri untuk menyampaikan pesan. Persoalannya,
apakah pesan itu bisa sampai kepada pembaca atau tidak.
Demikkian Hasan Al Banna, menyampaikan pendapatnya, ketika peluncuran
dan bedah buku Cinta Masih ada karya Embar T Nugroho di Perpustakaan
Daerah Sumatera Utara Medan, Jumat pukul 17.00 Wib.
Selain Hasan Al Banna yang alumni Unimed itu, juga seorang pembedah
M. Raudah Jambak juga alumni Unimed dan seorang Anggrek Lestari yang
masih belia (19 tahun) mahasiswa Universitas Sumatera Utara.
Cinta Masih Ada adalah novel ke 5 Embar T Nugroho sekaligus novel ke
57 karya anak-anak KSI yang nongkrong di Pokok Asam Taman Budaya Sumut.
Hadir dalam bedah buku itu, selain para mahasiswa dari berbagai
universitas, juga hadir sekretaris Perpustakaan Daerah Sumut serta dari
umum. Diperkirakan peserta yang hadir dalam bedah buku itu berkisar 60
orang dan mereka mendapatkan hadiah buku.
M. Raudah Jambak mengatakan, terkadang ketika berproses menciptakan
karya sastra, semua teori dipersetankan. Ada kalanya tidak juga, karena
teori tetap menjadi panduan dalam berkarya. Namun Raudah justru
mengatakan, apa yang ditulis dalam novel Cinta Masih Ada, Embar berhasil
mengobok-obok perasaan pembacanya.
Ada beberapa hal yang sangat kontradiksi, namun justru di sanalah
kehebatan Embar menuliskan karyanya, membuat pembaca menjadi penasaran.
Narasi
Angrek Lestari, si mungil anggota KSI Medan ketika mengawali
pembedahannya mengatakan, apa yang ditulis oleh Embar T Nugroho, perlu
mendapat perhatian serius. Menurut Angrek Lestari, Embar mampu
mengangkat sebuah kisah sembari memperkenalkan Medan kepada pembacanya
di seluruh Indonesia. Sayangnya menurut Angrek Lestari yang mengkritik
Embar sebagai Seniornya di KSI Medan, Embar sangat miskin narasi dalam
novelnya.
Menurut Angrek yang sudah menyelesaikan dua buah novelnya dan kini
masih dalam proses penerbitannya di Jakarta menambahkan, narasi itu
penting untuk memperjelas karya itu sendiri. Sedang dialog adalah untuk
memperkuat apa yang dinarasikan.
Hal ini secara halus dibantah oleh Hasan Al Banna yang sebelumnya
mengatakan, dirinya ditempatkannya sebagai "musuh" Embar dalam membedah
karyanya ini. Terlebih ketika Angrek mengatakan, Teelit karya Embar
bukanlah novel sastra yang serius.
Hasan mengatakan masah karyanya serius atau tidak, bukan dilihat dari
cerita itu serius atau tidak. Justru sebaliknya cerita yang tidak
serius, harus digarap dengan serius. Banyak cerita yang kelihatannya
tidak serius, namun enak membacanya dan banyak pesan di dalamnya, justru
digarap dengan serius. Apa dan bagaimana teknik kita menggarapnya, itu
yang terpenting.
Salah satu contoh dikemukakan oleh Hasan, kalau Embar sudah berhasil
mengangkat lokasi Medan dalam novelnya, namun idiom-idiom ke-Jakarta-an
terlalu banyak di dalamnya. Seharusnya Embar memperkenalkan gaya Medan
dan idiom-idiom Medan di dalam karyanya. Seperti memaki, dengan kata Asu
yang kita sama-sama mengerti itu artinya adalah anjing. Masih ada kosa
kata yang lebih tepat, bagi orang Medan.
Medan
Demikian juga M. Raudah Jambak dia melihat banyak hal yang sebenarnya
bisa dikembangkan dalam karya Embar pada novel Masih Ada Cinta, namun
Embar "kelupaan" menggarapnya. Andaikan sedikit saja Embar jeli, maka
Masih Ada Cinta, akan menjadi novel Teelit yang sangat baik.
Kenapa gaya Medan tidak keluar dalam novel-novel orang-orang Medan
yang terbit di Jakarta, inji perlu dipertanyakan, kata Raudah Jambak
dengan gaya sedikit humor. Walau begitu, kata Raudah Jambak, dia merasa
bahagia juga, karena Embar sebagai anak Medan sudah mampu mengangkat
nama Medan di kancah penulisan di tingkat Nasiuonal.
Onet Adytia, anggota KSI Medan yang sudah menulis tiga buah novel,
mnenanggapi ke tiga penulis mengatakan, sebagai penulis, dia sudah
berupaya mengangkat gaya Medan dalam karya-karyanya. Memang dasar
kapitalis, penerbit Jakarta mau untung sendiri dan memaksakan penulis
mengikuti kemauan mereka. Untuk itulah Onet tak mau mengikuti penerbit
dan bertahan dengan gayanya sendiri.
Onet setuju dengan apa yang dikatakan Idris Pasaribu, kalau penerbit
jangan sampai mengendalikan penulis. Idris Pasaribu membatalkan beberapa
penerbit untuk menerbitkan Novelnya Barzanzi Urang Darek dan Mangalua,
karean penerbit meminta banyak kata yang harus diganti. Walau sudah
dijelaskan dengan berbagai cara, penerbit tetap memaksakan kehendaknya.
Untuk itu kata Idris Pasaribu, apa salahnya kalau penulis juga memakai
hak, menolak pemaksaan yang lebih tepat disebut penjajahan kreatifitas
itu dari penerbit?
Kita anak Medan yang memiliki gaya tersendiri dan harus dipertahankan, kata Onet.
Peluncuran sekaligus bedah buku, novel Cinta Masih Ada karya Embar T
Nugroho, kelihatan demikian penuh kekeluargaan. Diskusi yang menarik
dari kalangan remaja dan anak muda yang hadir, benar-benar memberi
suasana menarik untuk lebih mencintai buku. Terlebih buku-buku yang
terbit karya anak Medan sendiri.
Seperti apa yang dikatakan Hasan Al Banna, M. Raudah Jambak dan
Anggrek Lestari, kalau Cinta Masih Ada, pantas untuk dimiliki terutama
oleh kalangan remaja dan mahasiswa, karena ada pesan-pesan menarik di
dalamnya.
Komentar