Saya Sebagai Salah Satu Pembicara dalam Launching dan Bedah Karya Buku Embart Nugroho

Saya merasa senang sekali untuk yang pertama kalinya bisa menjadi salah satu pembicara di acara Launching dan bedah buku karya Embart Nugroho di Perpustakaan Daerah Sumatera Utara Medan, Jumat,  27 Oktober pukul 17.00 Wib.


-------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 

Cinta Masih Ada Dibedah di Pusda Sumut

Oleh: Ris Pasha. JANGAN katakan novel Teenlit, Novel Pop, Novel Chiklit, Metro Pop dan sebagainya. Novel adalah novel dan semuanya adalah karya sastra. Setiap novel memiliki cara dan gayanya sendiri-sendiri untuk menyampaikan pesan. Persoalannya, apakah pesan itu bisa sampai kepada pembaca atau tidak.

Demikkian Hasan Al Banna, menyampaikan pendapatnya, ketika peluncuran dan bedah buku Cinta Masih ada karya Embar T Nugroho di Perpustakaan Daerah Sumatera Utara Medan, Jumat pukul 17.00 Wib.

Selain Hasan Al Banna yang alumni Unimed itu, juga seorang pembedah M. Raudah Jambak juga alumni Unimed dan seorang Anggrek Lestari yang masih belia (19 tahun) mahasiswa Universitas Sumatera Utara.


Cinta Masih Ada adalah  novel ke 5 Embar T Nugroho sekaligus novel ke 57 karya anak-anak KSI yang nongkrong di Pokok Asam Taman Budaya Sumut. Hadir dalam bedah buku itu, selain para mahasiswa dari berbagai universitas, juga hadir sekretaris Perpustakaan Daerah Sumut serta dari umum. Diperkirakan peserta yang hadir dalam bedah buku itu berkisar 60 orang dan mereka mendapatkan hadiah buku.

M. Raudah Jambak mengatakan, terkadang ketika berproses menciptakan karya sastra, semua teori dipersetankan. Ada kalanya tidak juga, karena teori tetap menjadi panduan dalam berkarya. Namun Raudah justru mengatakan, apa yang ditulis dalam novel Cinta Masih Ada, Embar berhasil mengobok-obok perasaan pembacanya.

Ada beberapa hal yang sangat kontradiksi, namun justru di sanalah kehebatan Embar menuliskan karyanya, membuat pembaca menjadi penasaran.

Narasi

Angrek Lestari, si mungil anggota KSI Medan ketika mengawali pembedahannya mengatakan, apa yang ditulis oleh Embar T Nugroho, perlu mendapat perhatian serius. Menurut Angrek Lestari, Embar mampu mengangkat sebuah kisah sembari memperkenalkan Medan kepada pembacanya di seluruh Indonesia. Sayangnya menurut Angrek Lestari yang mengkritik Embar sebagai Seniornya di KSI Medan, Embar sangat miskin narasi dalam novelnya.

Menurut Angrek yang sudah menyelesaikan dua buah novelnya dan kini masih dalam proses penerbitannya di Jakarta menambahkan, narasi itu penting untuk memperjelas karya itu sendiri. Sedang dialog adalah untuk memperkuat apa yang dinarasikan.

Hal ini secara halus dibantah oleh Hasan Al Banna yang sebelumnya mengatakan, dirinya ditempatkannya sebagai "musuh" Embar dalam membedah karyanya ini. Terlebih ketika Angrek mengatakan, Teelit karya Embar bukanlah novel sastra yang serius.

Hasan mengatakan masah karyanya serius atau tidak, bukan dilihat dari cerita itu serius atau tidak. Justru sebaliknya cerita yang tidak serius, harus digarap dengan serius. Banyak cerita yang kelihatannya tidak serius, namun enak membacanya dan banyak pesan di dalamnya, justru digarap dengan serius. Apa dan bagaimana teknik kita menggarapnya, itu yang terpenting.

Salah satu contoh dikemukakan oleh Hasan, kalau Embar sudah berhasil mengangkat lokasi Medan dalam novelnya, namun idiom-idiom ke-Jakarta-an terlalu banyak di dalamnya. Seharusnya Embar memperkenalkan gaya Medan dan idiom-idiom Medan di dalam karyanya. Seperti memaki, dengan kata Asu yang kita sama-sama mengerti itu artinya adalah anjing. Masih ada kosa kata yang lebih tepat, bagi orang Medan.

Medan

Demikian juga M. Raudah Jambak dia melihat banyak hal yang sebenarnya bisa dikembangkan dalam karya Embar pada novel Masih Ada Cinta, namun Embar "kelupaan" menggarapnya. Andaikan sedikit saja Embar jeli, maka Masih Ada Cinta, akan menjadi novel Teelit yang sangat baik.

Kenapa gaya Medan tidak keluar dalam novel-novel orang-orang Medan yang terbit di Jakarta, inji perlu dipertanyakan, kata Raudah Jambak dengan gaya sedikit humor. Walau begitu, kata Raudah Jambak, dia merasa bahagia juga, karena Embar sebagai anak Medan sudah mampu  mengangkat nama Medan di kancah penulisan di tingkat Nasiuonal.

Onet Adytia, anggota KSI Medan yang sudah menulis tiga buah novel,  mnenanggapi ke tiga penulis mengatakan, sebagai penulis, dia sudah berupaya mengangkat gaya Medan dalam karya-karyanya. Memang dasar kapitalis, penerbit Jakarta mau untung sendiri dan memaksakan penulis mengikuti kemauan mereka. Untuk itulah Onet tak mau mengikuti penerbit dan bertahan dengan gayanya sendiri.

Onet setuju dengan apa yang dikatakan Idris Pasaribu, kalau penerbit jangan sampai mengendalikan penulis. Idris Pasaribu membatalkan beberapa penerbit untuk menerbitkan Novelnya Barzanzi Urang Darek dan Mangalua, karean penerbit meminta banyak kata yang harus diganti. Walau sudah dijelaskan dengan berbagai cara, penerbit tetap memaksakan kehendaknya. Untuk itu kata Idris Pasaribu, apa salahnya kalau penulis juga memakai hak, menolak pemaksaan yang lebih tepat disebut penjajahan kreatifitas itu dari penerbit?

Kita anak Medan yang memiliki gaya tersendiri dan harus dipertahankan, kata Onet.

Peluncuran sekaligus bedah buku, novel Cinta Masih Ada karya Embar T Nugroho, kelihatan demikian penuh kekeluargaan. Diskusi yang menarik dari kalangan remaja dan anak muda yang hadir, benar-benar memberi suasana menarik untuk lebih mencintai buku. Terlebih buku-buku yang terbit karya anak Medan sendiri.

Seperti apa yang dikatakan Hasan Al Banna, M. Raudah Jambak dan Anggrek Lestari, kalau Cinta Masih Ada, pantas untuk dimiliki terutama oleh kalangan remaja dan mahasiswa, karena ada pesan-pesan menarik di dalamnya.

Komentar