KABAR LAUT UNTUK HATI YANG MUDAH KALUT


 
BANGKU PANJANG—TEMPAT KITA BERBAGI KASIH SAYANG,
31 JANUARI 2015

Surat hari ke-2 dalam #30HariMenulisSuratCinta
Untuk: Ibuku sang pemilik laut sahajaku.

Barangkali, dalam diri kita masing-masing ada sebuah laut yang membentang luasnya tergantung dari keluasan hati kita. Itulah yang sejak dulu sama-sama kita percayai, Ibu.

Aku selalu ingat petuahmu hingga detik ini. Kau selalu bilang anggaplah masalah-masalah ibarat garam. Jika garam yang kita miliki banyak, kita pun harus melarutkannya dalam air berkapasitas besar. Jika garam yang banyak hanya kita larutkan dalam seember air, tentulah air itu rasanya akan pahit. Namun, jika garam yang banyak kita tebar di lautan luas tentu rasanya tidak akan lagi pahit. Ya begitulah perasaan kita jika kita tidak berlapang dada bagi masalah-masalah kita.

Sebelum menulis surat ini, aku menikmati suasana pagi sahaja bersamamu di bangku panjang di teras rumah.

“Bagaimana kabar lautmu hari ini, Ibu?”

Itulah satu pertanyaan pembuka yang selalu kutanyakan padamu, Ibu—di bangku panjang tempat kita berbagi kasih sayang di pagi hari. Memang tidak pernah ada perjanjian tertulis kita harus duduk berdua di bangku panjang ini, tetapi nyatanya kita selalu dan akan selalu duduk di sini menikmati dua cangkir teh melati dan biskuit kelapa kesukaan kita setiap kali kau sedang di rumah untuk menerbitkan impian kita hari ini.

“Laut Ibu sedang bergejolak, tapi kau tenang saja. Kapal impian milik kau dan juga Ibu masih berlayar,” jawabmu dengan mata berkaca-kaca dan kutahu sebentar lagi pasti kita akan menangis bersama di setiap pagi yang tidak akan pernah sama.

Aku dan kamu, kita adalah dua perempuan berwajah sama yang memiliki pembicaraan aneh yang tidak akan dimengerti anggota keluarga kita yang lain. Bahkan, kakak keduaku itu pernah menertawai kita saat kita saling bertanya tentang laut di dalam diri kita.

“Kelen aneh-anehlah, masa’ dalam diri manusia ada laut. Dasar sama-sama tukang ngayal,” celetuk kakakku itu.

Lalu kamu menjawab, “Yang bukan penulis dilarang ambil bagian.” Sejak itu dia tidak pernah mencampuri perkataan kita lagi, ya kan Ibu. :)

Ya, kita adalah dua orang yang bercita-cita menjadi penulis. Kini cita-citamu telah kau letakkan di laut milikku. Hanya aku dari empat orang anakmu yang kau beri anugerah atas cita-citamu itu. Aku berjanji akan selalu melayarkan kapal impian ini sampai ke tempat tujuannya nanti.

Ibu, aku tahu laut dalam dirimu sedang bergejolak oleh keadaan yang serba sulit ini. Kau harus kembali ke Banda Aceh—tanah rantau tempat kau mencari rezeki. Sedangkan di sini, anggota keluarga kita yang lain tidak mengerti dan tidak setuju dengan keputusanmu untuk pergi itu. Bapak, kakak pertama dan kakak kedua menganggap kepergian Ibu adalah bentuk pelarian tanggung jawabmu.

Ibu, aku selalu marah saat kau dikatai seperti itu oleh mereka yang tidak pernah menganggap perjuanganmu ada. Namun, kau selalu tidak pernah marah. Kau bertahan dengan lautmu yang selalu bergejolak.

Kau tidak pernah marah pada Bapak, yang tidak pernah memberimu uang belanja setiap hari dan tidak pernah memperlakukan kau sebagai istri. Aku yang marah setiap kali kau masih peduli padanya: kau masih membuatkannya makanan kesukaannya; kau masih mencucikan pakaiannya—pakaian untuk menghangat tubuhnya yang tidak pernah menguatkan kau dan juga aku; kau masih peduli pada kesehatannya meski dalam bentuk omelan jika dia selalu merokok setiap saat sambung menyambung tanpa jeda. Perlakuanmu yang seperti itu kepada Bapak, membuatku selalu bertanya apa memang beginilah cinta sejati yang selalu ada meski kau tidak pernah mendapatkan balasannya? Aku selalu marah jika kau masih baik pada Bapak, tapi kau juga selalu bilang padaku itulah gunanya laut luas di diri kita yang selalu bisa meluruhkan kesalahan orang lain dengan ombak-ombaknya meski kita yang harus menahan gejolaknya. Katamu lagi, ini sudah takdir. Ah, kenapa takdir lebih getir melebihi rasa bir (itu sebabnya kau melarang aku minum bir karena kita tidak perlu menambah rasa getir lagi, katamu).

Kau tidak pernah marah pada Kakak kedua yang memperlakukanmu melebihi pembantunya. Dia masih bisa memikirkan dirinya lelah, tapi dia tidak pernah bisa memikirkan dirimu yang sudah kelelahan mengurus tiga anaknya melebihi pembantu, dari pukul enam pagi hingga sore hari. Seorang kakak yang sudah PNS, yang dulu selalu kau harapkan menjadi orang sukses dengan susah payahmu kau merantau ke Malaysia, kini justru menyusahkan keluarganya sendiri dengan alasan tidak percaya jasa pembantu. Ah, Ibu, kau selalu diam-diam, dan diam, kau tidak pernah memarahi orang yang bahkan untuk kau marahi.

Itu makanya aku setuju sekali kau kembali saja ke Banda Aceh. Di sana kan juga ada abangku satu-satunya yang jelas-jelas akan selalu kurindukan dibandingkan kedua kakakku itu! Dan, kebetulan dua minggu ke depan aku liburan kuliah jadi besok aku ikut bersamamu. Wiih, aku akan datang lagi ke Banda Aceh.

“Persiapkan barang-barangmu. Besok malam kita pergi,” ucapmu lalu meneguk teh.

Kupegang tanganmu yang sudah bergetar dan tidak bisa lagi tenang di umurmu yang memasuki lima puluh tujuh tahun. Kedua tanganmu ini selalu tak henti menengadah pada Yang Kuasa Memohon novelku bisa menghasilkan uang untukmu pergi haji. Ah, ya—PERGI HAJI. Aku selalu bersedih jika ingat keinginanmu itu yang mungkin kini menjadi kapal impian terbesar di dalam lautmu. Aku yang masih kuliah ini belum bisa memberimu uang banyak untukmu pergi ke Tanah Suci. Aku tahu, separuh uang beasiswa dan uang royalti seluruh karyaku selama ini yang kusisihkan di tabungan hajimu belumlah cukup dan inilah yang membuatku sedih. Ditambah lagi, kau seringkali menyinggung masalah umur. Kau sering takut akan meninggal dunia sebelum kau bisa pergi ke Tanah Suci. Apalagi, saat ada pengumuman di masjid tentang orang meninggal, kau langsung panik dan teringat umurmu. Ingin sekali rasanya aku menutup saja TOA masjid yang mengumumkan orang meninggal agar kau tidak panik.

Ibu, kabar dari lautku ini juga bergejolak. Aku selalu mengkhawatirkan diriku sendiri yang belum mengantarkan kapal impian titipanmu di lautku ke tempat tujuannya. Maafkan aku Ibu. Maaf yang paling maaf.

Kabar laut untuk hati kita yang mudah kalut, ternyata justru menguatkan dan membuat diri kita saling terpaut. Aku lautmu, dan kau lautku. Kita saling menitipkan kapal impian. Kita saling berbagi kabar tentang angin-angin takdir yang setiap saat bisa mengaramkan kapal-kapal impian kita.

Ibu, kau selalu membuatku percaya, bahwa apa yang kita impikan, akan menjadi kenyataan milik kita jika memang kita berusaha mewujudkan. Ya, buktinya saja kini aku sudah menerbitkan sebuah novel "Cermin" yang bahkan dulu masih kita doakan kehadirannya. Novel yang selalu kau dekap saat kau tidur malam dan selalu diam-diam kuambil dari dekapanmu agar tidak terjadi kemungkinan terburuk: kau memakan novelku saat kau bermimpi makan mie sop ceker kesukaanmu!

“Sudah cepat habiskan teh dan biskuitmu. Dan, lanjutkan menulis!” serumu sambil meremas tanganku sebelum akhirnya kamu melepaskan genggaman tanganku dan pergi ke dapur—menyudahi suasana sahaja pagi ini.

Terima kasih, Ibu. Kau selalu menjadi laut terluasku yang selalu bisa meluruhkan dukaku saat aku bahkan tidak sanggup lagi menampung dukaku.

Selamat pagi, Ibu. Selamat menikmati hangatnya sinar mentari hari ini meski kau menikmatinya sambil menggendong cucu laki-lakimu. 

Dan, aku akan memilih menikmati matahari terbit di matamu, yang muncul karena keluasan lautmu.

Tertanda,
Anggrek Lestari,

Anak terakhirmu yang suka minta suapi saat makan malam dengan tangan tegarmu yang selalu bergetar .

Komentar

Adibriza mengatakan…
Bagus tulisannya
Unknown mengatakan…
Terima kasih, Adib sudah mampir ke sini. :)
Bukan Blog Biasa mengatakan…
Kagum sama tulisannya :)
. mengatakan…
Aku sedih bacanya, kebawa emosi. Good job!