POHON JAMBU PENGHANGAT RINDU
Pohon Jambu Klutuk: tempat kita berbagi tawa (dahulu sebelum kau merantau ke Banda Aceh)
1 Februari 2015
Untuk kamu, my lovely brother. Suagun.
"Kadang yang jauh justru terasa dekat, dan yang dekat justru terasa jauh."
Barangkali, itulah kata-kata yang cocok untuk kita saat ini. Kamu terasa begitu dekat meski jarak membuat kita menjauh: Medan-Banda. Sedangkan kakak kedua kita yang sering menjemputku pulang sekolah di simpang perhentian angkot, membuatku tidak merasakan apapun selayaknya perasaan yang tulus seperti saat-saat aku bermain denganmu.
Aku menulis surat ini sebelum kita bertemu di Banda Aceh besok. Ini surat hari ke-3 di #30HariMenulisSuratCinta . Aku sengaja menulis surat ini untukmu, anggap saja untuk mengingatkan momen-momen indah kita, agar kita semakin rindu dan saat kita bertemu besok kita akan merasakan sensasi luapan rindu yang hebat. Ya, ya tanpa rindu, pertemuan kita persis hanya terasa sebagai sebuah keharusan, bukan keinginan.
Kabarmu bagaimana, Bang? Oh ya, pasti kau sudah masuk bekerja. Aku tahu kau semakin semangat bekerja mengumpulkan uang untuk membeli emas dalam hitungan "mayam" agar kau bisa melamar perempuan berdarah Aceh itu kan? Enggak terasa ya, kamu udah mau nikah.
Perihal nikah, Ibu ngotot menyuruhku yang harus menikah duluan karena aku perempuan, tapi kau ngotot kau harus menikah duluan. Adik enggak boleh melangkahi abangnya. Ya, ya aku lebih setuju dengan perkataanmu, Bang.
Aku menulis (lebih tepatnya sih mengetik pakai ponsel) surat ini di atas pohon jambu tempat dulu kita bermain bersama. Aku tetap masih bisa memanjat kok, apalagi memanjat adalah bagian terfavorit dari kenangan kita, bagaimana aku bisa lupa? Sekarang di areal kebun samping rumah kita sudah ada pohon mangga apel, jambu air mawar, dan rambutan kecil sebagai pengganti rambutan besar yang dulu di tebang untuk lahan pembuatan rumah kakak pertama kita.
Huh! Enggak terasa kamu sudah enggak pulang ke sini dua kali lebaran. Sedikit lagi kamu mirip kisah Bang Toyib!!! Terakhir kali kau pulang saat pesta pernikahan kakak kedua kita kita. Dan, kita sudah enggak berjumpa satu kali sebab hanya lebaran tahun lalu aku enggak mengunjungimu ke sana.
Bang, kamu masih ingat apa yang kita lakukan di pohon jambu ini? Aku ingat sekali kita selalu memanjat pohon ini setiap sore hari meski belum ada jambu yang matang. Kamu masih punya mata dewa? Ah, ya! Perihal mata dewa ini yang selalu membuatku tertawa terpingkal saat mengingat tentangmu. Saat kita berada di pohon jambu, kau akan pura-pura meneropong dengan jari-jarimu yang disatukan membulat menyerupai alat teropong.
"Saatnya mata dewa bekerja!" pekikmu sambil meneropong ke segala arah.
"Halah gaya ko, Bang!" aku terkekeh melihat tingkahnya.
"Eh aku lagi memeriksa ada ular atau enggak. Kan kata Bapak di sini banyak kali ular dari sawah-sawah."
"Yelah!" kubiarkan dia melakuka tugas anehnya itu.
Perihal ular, sampai sekarang di rumah kita pun sering dimasuki ular karena rumah kita dekat areal persawahan. Seminggu yang lalu ada ular sawah berwarna cokelat tua yang mengagetkan tidurku, tapi beruntung Bapak lekas membunuh ular itu.
"Dek, ada ular dek! Dek mata dewaku menemukan ular!" aku ingat lagi saat kamu memekik.
"Ih ko enggak usah bercandalah! Lagi enak-enaknya makan jambu nih!" ucapku tak peduli karena menganggapmu hanya bercanda saja. Kamu kan memang sering bercanda mengerjai aku.
Kamu mendekat ke cabang tempatku duduk. "Ish, tengok tuh kalo enggak percaya!!! Mata dewaku ini paten kali," jarinya menunjuk ke arah pucuk pohon yang tidak jauh dari cabang kita duduk.
"Huaaaaaaaa, Abangggggg!" aku langsung terkejut mendapati apa yang dikatakan kamu benar. Ada ular kecil namun panjang dan berwarna warni bentol-bentol hijau dan merah sedang melingkar di pucuk pohon, tetapi kepalanya tidak sedang mengarah pada kita.
"Yee, suruh siapa ko enggak percaya sama kemampuan mata dewaku! Kabuuuuur."
Kita pun langsung turun dari pohon jambu. Aku duluan, lalu disusul olehmu.
"Makanya jangan suka bercanda, iiih!!! Waktu itu enggak ada ular, dibilang ada. Makanya sekarang aku susah percaya sama becandaanmu!" aku cemberut.
"Udah ah, kita cari cengkeh aja yok!" kamu menarik paksa tanganku menuju pohon cengkeh di semak-semak yang ada pohon alpukat milik bersama. Oh ya, disemak-semak itu kucing kesayangan kita si Piko kutemukan mati sepuluh tahun lalu.
Kini di kampung kita kampung Cengkeh Turi, hanya tersisa dua pohon cengkeh. Satu di semak-semak itu yang kini masih tetap menjadi semak-semak dan satu lagi di simpang mau ke rumah Almarhuma Nenek Robingah kita.
Saat aku sangat merindukanmu, aku akan mencari cengkeh agar kerinduanku (sedikit) terobati, lalu kukumpulkan cengkeh yang sedikit itu di stoples kesayangan kita. Dan, yang pasti saat merindukanmu seperti saat ini aku akan memanjat pohon jambu ini: "Pohon jambu penghangat rindu".
Duh, kan, aku makin kangen kamu, Bang. Sudah enggak sabar buat digendong belakang sama kamu. Janji ya besok sore kamu akan gendong belakang aku saat kita menuju pantai untuk melihat matahari terbenam. Pokoknya harus mau. Awas kalo enggak mau aku hapus semua file film di ponselmu itu (masalah film begituan kamu nomor satu kan?! Malahan sejak aku kuliah kamu enggak malu nanya sama aku siapa artis "begituan" yang paling sexy" huaaaa!)
Entah kapan kamu membaca surat ini, yang jelas aku cuma mau bilang: "Aku sayang kamu, Bang Suagun. Dan, maaf untuk luka di pahamu yang pernah kugores pakai pisau sewaktu aku kecil dulu yang sampai sekarang bekasnya juga enggak hilang."
Aku juga enggak sabar ketemu kamu supaya kamu mengomentari penampilanku dan juga mengomel kalo aku dapat pacar mahasiswa. (Seringkali omelan seseorang memang menjadi hal paling kit ingat). Katamu pacaran selagi dan sesama mahasiswa itu rugi jika enggak ada pekerjaan sampingan. (halah mantan pacarmu yang susah bikin kau move on itu mahasiswa kedokteran, uuu.)
Ah, sudah dulu ya surat dariku ini. Adikmu ini mau memeriksa ada ular apa enggak.
Salam rindu selalu,
1 Februari 2015
Untuk kamu, my lovely brother. Suagun.
"Kadang yang jauh justru terasa dekat, dan yang dekat justru terasa jauh."
Barangkali, itulah kata-kata yang cocok untuk kita saat ini. Kamu terasa begitu dekat meski jarak membuat kita menjauh: Medan-Banda. Sedangkan kakak kedua kita yang sering menjemputku pulang sekolah di simpang perhentian angkot, membuatku tidak merasakan apapun selayaknya perasaan yang tulus seperti saat-saat aku bermain denganmu.
Aku menulis surat ini sebelum kita bertemu di Banda Aceh besok. Ini surat hari ke-3 di #30HariMenulisSuratCinta . Aku sengaja menulis surat ini untukmu, anggap saja untuk mengingatkan momen-momen indah kita, agar kita semakin rindu dan saat kita bertemu besok kita akan merasakan sensasi luapan rindu yang hebat. Ya, ya tanpa rindu, pertemuan kita persis hanya terasa sebagai sebuah keharusan, bukan keinginan.
Kabarmu bagaimana, Bang? Oh ya, pasti kau sudah masuk bekerja. Aku tahu kau semakin semangat bekerja mengumpulkan uang untuk membeli emas dalam hitungan "mayam" agar kau bisa melamar perempuan berdarah Aceh itu kan? Enggak terasa ya, kamu udah mau nikah.
Perihal nikah, Ibu ngotot menyuruhku yang harus menikah duluan karena aku perempuan, tapi kau ngotot kau harus menikah duluan. Adik enggak boleh melangkahi abangnya. Ya, ya aku lebih setuju dengan perkataanmu, Bang.
Aku menulis (lebih tepatnya sih mengetik pakai ponsel) surat ini di atas pohon jambu tempat dulu kita bermain bersama. Aku tetap masih bisa memanjat kok, apalagi memanjat adalah bagian terfavorit dari kenangan kita, bagaimana aku bisa lupa? Sekarang di areal kebun samping rumah kita sudah ada pohon mangga apel, jambu air mawar, dan rambutan kecil sebagai pengganti rambutan besar yang dulu di tebang untuk lahan pembuatan rumah kakak pertama kita.
Huh! Enggak terasa kamu sudah enggak pulang ke sini dua kali lebaran. Sedikit lagi kamu mirip kisah Bang Toyib!!! Terakhir kali kau pulang saat pesta pernikahan kakak kedua kita kita. Dan, kita sudah enggak berjumpa satu kali sebab hanya lebaran tahun lalu aku enggak mengunjungimu ke sana.
Bang, kamu masih ingat apa yang kita lakukan di pohon jambu ini? Aku ingat sekali kita selalu memanjat pohon ini setiap sore hari meski belum ada jambu yang matang. Kamu masih punya mata dewa? Ah, ya! Perihal mata dewa ini yang selalu membuatku tertawa terpingkal saat mengingat tentangmu. Saat kita berada di pohon jambu, kau akan pura-pura meneropong dengan jari-jarimu yang disatukan membulat menyerupai alat teropong.
"Saatnya mata dewa bekerja!" pekikmu sambil meneropong ke segala arah.
"Halah gaya ko, Bang!" aku terkekeh melihat tingkahnya.
"Eh aku lagi memeriksa ada ular atau enggak. Kan kata Bapak di sini banyak kali ular dari sawah-sawah."
"Yelah!" kubiarkan dia melakuka tugas anehnya itu.
Perihal ular, sampai sekarang di rumah kita pun sering dimasuki ular karena rumah kita dekat areal persawahan. Seminggu yang lalu ada ular sawah berwarna cokelat tua yang mengagetkan tidurku, tapi beruntung Bapak lekas membunuh ular itu.
"Dek, ada ular dek! Dek mata dewaku menemukan ular!" aku ingat lagi saat kamu memekik.
"Ih ko enggak usah bercandalah! Lagi enak-enaknya makan jambu nih!" ucapku tak peduli karena menganggapmu hanya bercanda saja. Kamu kan memang sering bercanda mengerjai aku.
Kamu mendekat ke cabang tempatku duduk. "Ish, tengok tuh kalo enggak percaya!!! Mata dewaku ini paten kali," jarinya menunjuk ke arah pucuk pohon yang tidak jauh dari cabang kita duduk.
"Huaaaaaaaa, Abangggggg!" aku langsung terkejut mendapati apa yang dikatakan kamu benar. Ada ular kecil namun panjang dan berwarna warni bentol-bentol hijau dan merah sedang melingkar di pucuk pohon, tetapi kepalanya tidak sedang mengarah pada kita.
"Yee, suruh siapa ko enggak percaya sama kemampuan mata dewaku! Kabuuuuur."
Kita pun langsung turun dari pohon jambu. Aku duluan, lalu disusul olehmu.
"Makanya jangan suka bercanda, iiih!!! Waktu itu enggak ada ular, dibilang ada. Makanya sekarang aku susah percaya sama becandaanmu!" aku cemberut.
"Udah ah, kita cari cengkeh aja yok!" kamu menarik paksa tanganku menuju pohon cengkeh di semak-semak yang ada pohon alpukat milik bersama. Oh ya, disemak-semak itu kucing kesayangan kita si Piko kutemukan mati sepuluh tahun lalu.
Kini di kampung kita kampung Cengkeh Turi, hanya tersisa dua pohon cengkeh. Satu di semak-semak itu yang kini masih tetap menjadi semak-semak dan satu lagi di simpang mau ke rumah Almarhuma Nenek Robingah kita.
Saat aku sangat merindukanmu, aku akan mencari cengkeh agar kerinduanku (sedikit) terobati, lalu kukumpulkan cengkeh yang sedikit itu di stoples kesayangan kita. Dan, yang pasti saat merindukanmu seperti saat ini aku akan memanjat pohon jambu ini: "Pohon jambu penghangat rindu".
Duh, kan, aku makin kangen kamu, Bang. Sudah enggak sabar buat digendong belakang sama kamu. Janji ya besok sore kamu akan gendong belakang aku saat kita menuju pantai untuk melihat matahari terbenam. Pokoknya harus mau. Awas kalo enggak mau aku hapus semua file film di ponselmu itu (masalah film begituan kamu nomor satu kan?! Malahan sejak aku kuliah kamu enggak malu nanya sama aku siapa artis "begituan" yang paling sexy" huaaaa!)
Entah kapan kamu membaca surat ini, yang jelas aku cuma mau bilang: "Aku sayang kamu, Bang Suagun. Dan, maaf untuk luka di pahamu yang pernah kugores pakai pisau sewaktu aku kecil dulu yang sampai sekarang bekasnya juga enggak hilang."
Aku juga enggak sabar ketemu kamu supaya kamu mengomentari penampilanku dan juga mengomel kalo aku dapat pacar mahasiswa. (Seringkali omelan seseorang memang menjadi hal paling kit ingat). Katamu pacaran selagi dan sesama mahasiswa itu rugi jika enggak ada pekerjaan sampingan. (halah mantan pacarmu yang susah bikin kau move on itu mahasiswa kedokteran, uuu.)
Ah, sudah dulu ya surat dariku ini. Adikmu ini mau memeriksa ada ular apa enggak.
Salam rindu selalu,
Anggrek Lestari,
Adikmu satu-satunya
Catatan kecil: mungkin di masa lalu adikmu ini tercipta sebagai bayi kangguru yang maunya ndusel dalam pelukan teyus ><
Komentar
emang bisa nulis di atas pohon jambu ya, kan pohon jambu banyak semutnya :)