Bijak Mengelola Keahlian
OLEH: Anggrek Lestari
Terkadang
suatu lingkungan yang sangat kontras dengan kehidupan kita membuat kita
‘terpaksa’ menyembunyikan keahlian untuk berada di zona aman agar tidak di bully. Kasus seperti ini sering terjadi
dalam dunia sekolahan, ataupun perkuliahan. Misalnya saja anak yang miskin
tidak berani menampilkan keahliannya karena takut dianggap sebagai saingan
orang-orang yang berderejat sosial di atasnya yang menyebabkan si anak mendapat
perlakuan kekerasan.
Apa
memang menyembunyikan keahlian adalah cara terbijak di sebuah lingkungan yang
memaksa kita? Saya rasa justru semakin kita menampilkan diri sebagai orang
lemah, orang lain akan senang berkuasa terhadap diri kita dan tidak segan-segan
mempermalukan diri kita. Karena itulah kita harus bijak mengelola keahlian kita
di lingkungan sekitar dan tentunya harus berani mepertahankan apa yang kita
anggap benar.
Kutipan
cerita dari novel berikut ini memberikan kita pelajaran mengapa kita tetap
harus menampilkan keahlian kita sebaik-baiknya kepada dunia. Chek this out, Penikmat cerita.
“Zaman
dahulu kala, di suatu desa di lereng gunung, ada empat sekawan yang dipanggil
dengan kelebihan mereka masing-masing, kecuali satu orang. Si Tinggi, si Cepat,
si Suara Bagus. Anak keempat sebenarnya adalah anak paling pintar di antara
keempatnya, tapi dia menyembunyikan kepandaiannya karena takut dicap sombong.
Akhirnya, dia hanya terkenal sebagai sebutan ‘anak keempat’ saja.
Suatu
ketika mereka bermain di gunung dan tanpa sadar melanggar larangan yang dibuat
oleh penungggu gunung. Sebagai hukuman,oleh si penunggu gunung keempat anak itu
disuruh tinggla di gunung sampai ada yang mengingat mereka. Padahal, penunggu
gunung sudah menyihir penduduk desa agar lupa akan keempat anak itu. Tapi, lambat
laun penduduk desa pun ingat. Setiap melihat gunung yang tinggi, penduduk desa
ingat akan si Tinggi dan selamatlah dia. Setiap melihat rusa yang berlari
cepat, penduduk desa ingat akan si Cepat dan selamatlah dia. Setiap mendengar
nyanyian merdu burung-burung, penduduk desa ingat akan si Suara Bagus dan
selamatlah dia. Tapi tidak dengan anak keempat. Tak ada satu pun hal yang
membuat penduduk desa ingat akan ‘anak keempat’ hingga akhirnya anak itu
meninggal dalam kesepian di gunung. Tidak ada yang mengingatnya. Dia menyesal
kenapa dulu dia menyembunyikan kelebihannya sehingga orang-orang melupakannya.
Dia akhirnya sadar, jika dilupakan, jika tidak diingat, berarti dia tidak
pernah ada.”*
***
Catatan: kutipan diambil dari
novel Seandainya karya Windhy Puspitadewi,
terbitan GagasMedia, cetakan keempat 2013, halaman 43.
Komentar