Bijak Mengelola Keahlian


Terkadang suatu lingkungan yang sangat kontras dengan kehidupan kita membuat kita ‘terpaksa’ menyembunyikan keahlian untuk berada di zona aman agar tidak di bully. Kasus seperti ini sering terjadi dalam dunia sekolahan, ataupun perkuliahan. Misalnya saja anak yang miskin tidak berani menampilkan keahliannya karena takut dianggap sebagai saingan orang-orang yang berderejat sosial di atasnya yang menyebabkan si anak mendapat perlakuan kekerasan.

Apa memang menyembunyikan keahlian adalah cara terbijak di sebuah lingkungan yang memaksa kita? Saya rasa justru semakin kita menampilkan diri sebagai orang lemah, orang lain akan senang berkuasa terhadap diri kita dan tidak segan-segan mempermalukan diri kita. Karena itulah kita harus bijak mengelola keahlian kita di lingkungan sekitar dan tentunya harus berani mepertahankan apa yang kita anggap benar.

Kutipan cerita dari novel berikut ini memberikan kita pelajaran mengapa kita tetap harus menampilkan keahlian kita sebaik-baiknya kepada dunia. Chek this out, Penikmat cerita.



“Zaman dahulu kala, di suatu desa di lereng gunung, ada empat sekawan yang dipanggil dengan kelebihan mereka masing-masing, kecuali satu orang. Si Tinggi, si Cepat, si Suara Bagus. Anak keempat sebenarnya adalah anak paling pintar di antara keempatnya, tapi dia menyembunyikan kepandaiannya karena takut dicap sombong. Akhirnya, dia hanya terkenal sebagai sebutan ‘anak keempat’ saja.

Suatu ketika mereka bermain di gunung dan tanpa sadar melanggar larangan yang dibuat oleh penungggu gunung. Sebagai hukuman,oleh si penunggu gunung keempat anak itu disuruh tinggla di gunung sampai ada yang mengingat mereka. Padahal, penunggu gunung sudah menyihir penduduk desa agar lupa akan keempat anak itu. Tapi, lambat laun penduduk desa pun ingat. Setiap melihat gunung yang tinggi, penduduk desa ingat akan si Tinggi dan selamatlah dia. Setiap melihat rusa yang berlari cepat, penduduk desa ingat akan si Cepat dan selamatlah dia. Setiap mendengar nyanyian merdu burung-burung, penduduk desa ingat akan si Suara Bagus dan selamatlah dia. Tapi tidak dengan anak keempat. Tak ada satu pun hal yang membuat penduduk desa ingat akan ‘anak keempat’ hingga akhirnya anak itu meninggal dalam kesepian di gunung. Tidak ada yang mengingatnya. Dia menyesal kenapa dulu dia menyembunyikan kelebihannya sehingga orang-orang melupakannya. Dia akhirnya sadar, jika dilupakan, jika tidak diingat, berarti dia tidak pernah ada.”*
***

Catatan: kutipan diambil dari novel Seandainya karya Windhy Puspitadewi, terbitan GagasMedia, cetakan keempat 2013, halaman 43.


Komentar

prajuritkecil99 mengatakan…
kisah yg inspiratif.
memang harus pintar-pintar kita untuk bijak mengelola potensi dan kemampuan kita yaa, termasuk berusaha menempatkan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan.
salam :)
Mas Bocah mengatakan…
Menginspirasi sekali.. Dan satu lagi, menyembunyikan keahlian kita juga bisa menghambat rejeki.. Itu yang sekarang aku rasain, dan aku sedang coba untuk mengubahnya..

Menu yang Paling Banyak Dinikmati