PERIODISASI LUKA YANG PURA-PURA TERLUPA




Kalian pernah terluka? Pernah, tidak pernah, terlupa, atau justru pura-pura terlupa?
Seringkali kita, berusaha terus berpura-pura, berusaha untuk membohongi diri sendiri dengan pikiran dan pernyataan bahwa kita sedang baik-baik saja.
.
.



IDENTITAS BUKU:
Judul               : Surat Untuk Ruth
Penulis             : Bernard Batubara
Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama
Editor              : Siska Yuanita
Desain cover   : Marcel AW
Tahun terbit     : 2014
Tebal               : 165 halaman
ISBN              : 978-602-03-0413-7


Kalian pernah terluka? Pernah, tidak pernah, terlupa, atau justru pura-pura terlupa? Terluka yang saya maksud di sini adalah dalam hal percintaan―terluka karena cinta. Seringkali kita, berusaha terus berpura-pura, berusaha untuk membohongi diri sendiri dengan pikiran dan pernyataan bahwa kita sedang baik-baik saja. Padahal, di balik pernyataan itu ada sebuah hati yang sudah terluka parah, terlalu lama dibiarkan, atau bahkan tidak diakui kehadirannya hingga luka itu semakin membusuk dan melumpuhkan diri kita dengan kenangan yang seharusnya kita simpan di lemari masa lalu. Mungkin saja kita ingin terlihat tegar di hadapan dunia. Kita malu jika mengakui kita sudah terluka (karena cinta) ketika di luar sana kita melihat banyak pasangan yang bisa bahagia (padahal kita harus tahu, mungkin beberapa hari kemudian pasangan itu bisa juga terluka seperti kita).


Surat Untuk Ruth, adalah novel ketiga, sekaligus menjadi buku keenam penulis yang akrab dipanggil Bara. Surat Untuk Ruth semakin memperlihatkan kepiawaian Bara dalam mengolah luka menjadi cerita yang membuat “nyesek” para pembacanya. Cerita yang tentu saja disajikan dengan gaya penceritaan yang sastra namun tidak membosankan.


Pertama kali saya mengenal Bara lewat kumpulan cerpennya Milana. Saya yang menyukai cerita dengan gaya penceritaan sastra, langsung jatuh hati pada Milana. Bahkan, saya sempat mengumpat Bara dengan kata, “Gilak! Ini pengarang jago banget bercerita secara sastra tapi gak membosankan!” Melalui Milana, saya sudah bisa menduga bahwa Bara akan jadi pengolah luka yang handal. Dan ternyata benar dugaan saya. Lagi-lagi Bara berhasil menyajikan luka kehidupan melalui Surat Untuk Ruth.


Surat Untuk Ruth berisi memoar perjalanan Are (Areno Adamar) dengan Ruth (Ruthefia Milana). Perjalanan cinta yang berakhir dengan luka karena Are dan Ruth tidak bisa saling memiliki karena suatu alasan (perjodohan Ruth, lalu kemudian Are meninggal dunia akibat kecelakaan kapal feri). Memoar disajikan dalam bentuk surat yang ditulis Are untuk Ruth. Dengan demikian, novel ini menggunakan sudut pandang orang kedua sebagai penyaji ceritanya, yaitu dari sudut pandang Are. Memoar ini juga flash back dari kisah Milana dalam cerpen Milana di kumpulan cerpen Milana yang sebelumnya. Namun, Surat Untuk Ruth bisa dibaca dan dinikmati secara terpisah tanpa membaca cerpen Milana terlebih dahulu.


Memoar perjalanan Are dan Ruth terbagi menjadi tiga periodisasi. Periodisasi inilah yang saya sebut sebagai “Periodisasi Luka” yang sering terlupa oleh kita. Surat Untuk Ruth inilah yang menyadarkan kita kembali bahwa kita pernah atau bahkan masih terluka. Kalian takut membaca novel ini, akan menimbulkan luka lama? Tenang saja, jangan takut. Justru dengan menimbulkan luka lama novel ini akan membuat kita tersadar bahwa sebenarnya luka itu bisa disembuhkan atau diminimalkan rasa sakitnya ketika periode luka itu sedang berlangsung. Ketika kita mau menyadari bahwa kita terluka, justru kita bisa segera mencari obatnya. Bayangkan, jika kita terus membohongi diri sendiri bahwa kita sudah terluka, di dalam sana hati kita bisa melumpuh kinerjanya.


Fase pertama periodisasi perjalanan Are dengan Ruth memberitahu kita bahwa luka itu bisa sembuh, dengan hadirkan seseorang yang baru, asalkan kita mau membuka hati. Hadirnya Ruth telah menyembuhkan luka hati Are dari mantannya, meskipun di hari mendatang, Ruth akan membuat Are terluka lagi.

Fase pertama adalah fase perkenalan. Ketika itu aku baru saja putus dari kekasihku
(halaman 12).

Maka untuk menjernihkan pikiran dan menenangkan diri dari masalah itu, aku pergi ke Bali untuk memotret. Saat aku memotret pemandangan senja dari pinggir dek kapal feri yang menyebrangi selat Bali dari Banyuwangi ke Jembrana, aku melihat seorang perempuan. Aku melihatmu (halaman 13).

Kamu perempuan yang menjadi alasan bagiku untuk kembali membuka hati setelah sekian lama memagari benda ringkih tersebut dengan dinding yang tebal dan tinggi. Kamu, perempuan yang berhasil menggoyahkan keyakinanku sebelumnya bahwa cinta adalah mitos belaka
(halaman 21).




Fase kedua perjalanan Are dengan Ruth memberi kita pelajaran bahwa sebenarnya luka itu berasal dari harapan. Harapan untuk memiliki. Ketika nanti kita tidak bisa memiliki dan telanjur memiliki harapan sangat besar, maka disitulah sebenarnya kita mulai terluka.

Fase kedua, ketika aku mulai merasa ada sesuatu yang bergolak di dalam diriku setiap kali  memikirkanmu  (entah apakah kamu merasakan hal yang sama terhadapku). Pada fase kedua itu, Ruth, kita mulai intens berkomunikasi. Meskipun selalu saja aku yang mengawali. Namun, kamu menanggapi dengan baik, dan itu memberiku harapan  (halaman 14).


Fase ketiga perjalanan Are dengan Ruth berisi luka-luka akibat dua sejoli yang saling mencintai, tapi tidak bisa saling memiliki karena salah satu pihak dijodohkan. Memang, luka cinta yang paling sakit dan paling susah disembuhkan adalah tidak bisa memiliki meskipun saling mencintai.


Fase ketiga adalah ketika aku dan kamu sudah menjadi sepasang kekasih. Dan, pada waktu yang bersamaan, harus tidak lagi menjadi sepasang kekasih (halaman 14)


Di fase ketiga itu, terungkaplah alasan mengapa Ruth tidak pernah membalas pernyataan cinta Are. Ruth yang sudah dijodohkan oleh ibunya dengan Abimanyu, takut jikalau menyatakan cinta kepada Are, perasaannya akan jatuh lebih dalam pada Are. Namun, pada akhirnya ironis memang—Ruth mengatakan cinta pada Are tepat di saat Ruth harus meninggalkan Are karena hari pernikahannya dengan Abimanyu akan segera tiba.
       
Ironis. Kamu berkata “aku sayang kamu” tepat pada saat kamu harus meninggalkanku 
(halaman 107).


Are sangat terluka saat itu. Awalnya Are ingin sekali mendengar penyataan cinta dari Ruth. Tapi, semua itu justru menyakitkan ketika Ruth menyatakan cinta tepat ketika Ruth harus meninggalkan Are. Are berkata, Apa gunanya mengetahui dia mencintaiku dan aku mencintainya, kalau pada akhirnya kami tidak bisa bersama? (halaman 137).


Sebelum terluka, seharusnya kita bisa mencegah luka itu datang. Mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk bahwa pertemuan akan mengalami perpisahan dan hubungan dua sejoli kapan saja bisa berpisah. Tapi, siapa yang merasa siap dengan perpisahan?


Aku harus menyalahkan diriku sendiri yang tidak membuat persiapan apa pun untuk semua ini. Padahal, aku sudah mendapatkan firasat bahwa hal ini akan terjadi. Tapi, tentu saja aku akan jadi orang bodoh kalau belum apa-apa sudah menyiapkan diri untuk berpisah dengan orang yang kucintai. Lagi pula, siapa yang merasa siap dengan perpisahan? (halaman 109).


Tapi, pada akhirnya meski kita terluka karena perpisahan, kebersamaan yang sebentar itu haruslah disyukuri. Kebersamaan itu tetap indah dan nyata adanya meski hanya sebentar.


Kita tidak bisa memaksa agar kebahagiaan berlangsung selama yang kita mau. Meski hanya sementara, sebentar, kebahagiaan tetaplah kebahagiaan  (halaman 111).


Novel ini juga menyiratkan bahwa terlambat menyadari keputusan yang kita ambil adalah salah, hanya membuahkan penyesalan dan luka yang semakin dalam, seperti luka yang dialami Ruth.


Mungkin jika dari awal Ruth memutuskan untuk membatalkan perjodohan dengan Abimanyu dan kembali menjalin cinta dengan Are, ya mungkin saja Are tidak akan meninggal dunia. Tapi, lagi-lagi, mungkinkah itu sudah takdir? Takdir memang sulit kita mengerti atau kadang kita justru tidak perlu mengerti dan mempertanyakan tentang takdir. Hanya perlu menerima agar luka kita tidak semakin dalam.


Aku sungguh tidak mengerti perihal takdir. Aku lebih mengerti jika ditanya tentang histogram dalam fotografi atau cara mengambil foto bulb yang baik atau mengatur shutter speed untuk mendapatkan gambar freeze yang solid (halaman 39).


Bagaimana, kalian masih pura-pura terlupa pernah terluka? Coba baca dan renungkan 30 hal pengakuan yang membuat Ruth menyesal karena terpaksa meninggalkan Are.


“30 hal atau lebih yang menjadi kesalahanku sebelum dan saat aku dan kamu menjadi kita dan setelah tidak lagi menjadi kita”


1.      Maaf aku terlambat menemukanmu.
2.      Maaf aku membutuhkan waktu terlalu lama untuk mengatakan bahwa aku mencintaimu.
3.      Maaf aku pernah angkuh berkata dalam hati bahwa aku tidak membutuhkanmu, padahal kenyataannya adalah sebaliknya.
4.      Maaf aku pernah menyakitimu.
5.      Maaf aku tidak bisa memberikan yang terbaik kepadamu.
6.      Maaf untuk kesalahanku yang sangat banyak.
7.      Maaf untuk ketidaksempurnaanku dalam mencintaimu.
8.      Maaf untuk semua rencana kita yang telah gagal.
9.      Maaf untuk cintaku yang menyakitimu.
10.  Maaf aku tidak bisa melupakanmu.
11.  Maaf aku masih mencarimu.
12.  Maaf aku masih mengharapkanmu.
13.  Maaf aku menganggap kamu masih bagian dari kita.
14.  Maaf untuk segala kenangan dan ingatan tentang kita.
15.  Maaf untuk kebersamaan yang begitu singkat.
16.  Maaf untuk setiap luka yang masih melekat.
17.  Maaf untuk segala harapanku yang masih ingin bertemu denganmu saat aku dan kamu sudah tidak lagi sebagai kita.
18.  Maaf aku masih menutup hati ini untuk orang lain karena mengira suatu saat kamu akan kembali.
19.  Maaf untuk setiap cemburuku pada orang-orang yang bisa berada dekat denganmu.
20.  Maaf untuk setiap permintaan maafku kepadamu.
21.  Maaf aku tidak bisa meghilangkan perasaanku kepadamu begitu saja.
22.  Maaf aku masih saja berusaha untuk mencari kesempatan bertemu denganmu meski kamu tak ingin lagi.
23.  Maaf aku mencintaimu sebesar ini.
24.  Maaf untuk perasaanku kepadamu yang sudah sedalam ini.
25.  Maaf telah hadir dalam hidupmu dan mengacaukan segalanya.
26.  Maaf aku gagal membuatmu bahagia.
27.  Maaf untuk ketidakrelaan dan ketidakikhlasanku melepaskanmu.
28.  Maaf untuk setiap hari yang masih kuhabiskan dengan memikirkanmu meski kamu tidak lagi memikirkanku.
29.  Maaf untuk setiap rindu yang masih saja untukmu bahkan setelah kamu jauh pergi.
30.  Maaf, aku masih ingin kamu kembali.



Aku tidak ingin menikah dengan dia. Aku lari dari acara pernikahanku. Aku tahu perbuatanku melukai Mama, dia, dan banyak orang. Tetapi, yang terpikir olehku saat ini hanyalah kamu. Aku sudah melukaimu. Aku bahkan melukai diriku sendiri (halaman163-165).


Oh ya, keseluruhan novel ini saya beri nilai 4 bintang dari lima. Ada beberapa kebingungan yang mungkin juga ditanyakan pembaca yang lain, misalnya mengapa Are yang sudah meninggal masih bisa menulis surat? Kemudian, ada pergantian penceritaan yang membingungkan misalnya saat Are menceritakan peristiwa masa lalu. Jika pembaca tidak jeli, akan tertukar-tukar siapa yang jadi “aku” dan “kamu”. Meski demikian, secara keseluruhan tetap saja jempol deh buat Bara si Pengolah Luka.


Akhirnya, semoga kita menyadari periodisasi luka yang pernah terlupa di hidup kita. Semoga kita mau berusaha menyembuhkan luka, bukan malah berkabung selamanya dan terlumpuhkan oleh luka. Sebab, luka itu hanya masa lalu. Masa lalu seperti cahaya pada bintang-bintang!
 
Tahukah kamu Ruth, cahaya yang dipancarkan bintang-bintang adalah cahaya dari masa lalu? Artinya, pada saat aku atau kamu melihatnya, bintang-bintang itu sudah lama tidak ada di sana. Mereka sudah mati. Mereka adalah masa lalu
(halaman 56).

Selamat membaca Surat Untuk Ruth. Selamat menyadari periodisasi luka yang pernah terlupa.

Surat Untuk Ruth: tipis halamannya, tebal “nyeseknya”.

***
OLEH: ANGGREK LESTARI
.
.
Memoar luka—Medan,
 9 Mei 2014






Komentar