60 Tahun Teman Perubahan
Semua hal di dunia ini pernah mengecewakan, tetapi justru dari orang yang dikecewakan, mereka belajar untuk bangkit menciptakan perubahan.
Begitulah satu hal yang kupelajari bila melihat Ayah. Dia berkali-kali membuatku kecewa, tapi kini dia sudah berubah.
"Yuk, kita ngopi di Bright Gas Cafe," ajak Ayah saat baru saja mengisi bensin motor di SPBU Pertamina, di tengah perjalanan menjemputku pulang bekerja, menuju rumah.
"Buat apa sih, Yah? Ayuk ah kita pulang aja. Toh, ngopi bisa di rumah," tolakku yang ingin segera cepat-cepat pulang ke rumah.
"Beda kalau di rumah. Lagian Ayah cuma pengen punya waktu berdua sama kamu. Kalau di rumah, digangguin sama kakakmu atau ibumu. Masa gak boleh kencan ayah dan anak perempuannya? Masa Ayah kalah sama lelaki lain yang lebih bisa mengambil hatimu? Gak mau kasih kesempatan Ayah untuk bisa mencuri hatimu juga?"
Oh astaga, akhirnya kerewelan Ayah membuatku luluh juga. Aku mengikuti Ayah masuk ke kafe dan bahkan aku mengikuti saja pesanan yang sesuai dengannya.
Sambil menunggu pesanan datang, Ayah hanya menatapi wajahku tanpa bergeming.
"Jadi, ini semacam pengakuan kesalahan? Pffft." Aku memasang tampang cemberut, pura-pura kesal. Bukan karena apa-apa sih, masalahnya ini di tempat umum. Gak lucu aja sih kalau harus ada tangisan gara-gara pemaksaan Ayah berduaan di sini.
"Apa kamu gak sadar perkataanmu terus membuat Ayah merasa bersalah? Itu sebabnya Ayah selalu berusaha ingin punya waktu denganmu."
Aku terdiam memikirkan perkataan Ayah barusan. Kopi yang baru saja dihantarkan menjadi objekku mengalihkan pandangan.
Keluarga hanyalah omong kosong belaka! Cuma bisa membuat kecewa. Apalagi Ayah, Ayah gak pernah mau mengantarkan aku sampai ke depan sekolah. Ayah jahat gak pernah semangatin aku. Ayah malu punya anak seperti aku, makanya Ayah selalu mengantarkan aku hanya sampai tikungan dekat sekolah!
Itulah kata-kata yang dahulu aku ucapkan setiap hari, selama bertahun-tahun, dan aku bisa mengingatkan hingga sekarang. bertahun-tahun amarah itu tersimpan, tapi Ayah tidak pernah memberi penjelasan. Dia tetap mengantarkanku bertahun-tahun dari SD hingga SMP. Barulah saat aku beranjak SMU dan kuliah, kami berdua berhenti saling berbicara.
Berhenti berbicara? Iya, benar. Kami berhenti berbicara, meskipun satu rumah. Saat membuatkan kopi untuknya di pagi hari pun, aku tidak pernah mau bicara.
Separah itukah amarahku padanya? Benar, aku memang semarah itu. Aku benar-benar marah karena dia tidak pernah menjadi ayah yang baik seperti ayahnya teman-temanku yang selalu mengantarkan sampai gerbang sekolah. Kebencianku terhadap Ayah bertambah parah saat Ayah mengizinkan Ibu untuk merantau ke kota lain agar kebutuhan rumah tangga kami tercukupi. Kenapa tidak Ayah saja yang pergi, kenapa mesti Ibu?
"Meski Ayah bertahun-tahun diam, tapi cinta Ayah ke kamu gak pernah padam."
Kata-katanya membuatku tercekat. Mau tak mau akhirnya aku pun menatap kedua matanya lekat.
"Ayah benar-benar balas dendam ingin membuatku menangis di sini sehingga aku jadi tontonan?" candaku untuk mengalihkan rasa haru dalam diriku.
Memang semenjak aku telah lulus kuliah dan bekerja serta Ibu tidak lagi merantau ke kota lain, hubungan kami perlahan membaik. Sedikit-sedikit aku mulai mau berbicara dengannya.
"Nak, terima kasih telah kecewa pada Ayah. Dengan begitu, Ayah bisa berubah menjadi lebih baik lagi," ucapnya tersenyum setelah menyeruput kopinya.
"Seandainya saja dulu Ayah mau mengantarkan sampai gerbang sekolah, pasti aku akan punya kenangan menyenangkan."
"Huh, baiklah sepertinya Ayah punya hutang penjelasan padamu."
Mataku berputar pertanda aku memang benar-benar jengah melihat tingkah Ayah yang baru sadar bahwa bertahun-tahun lamanya dia hutang penjelasan.
Ayah memegang tanganku tanpa canggung. "Ayah sengaja tidak pernah mengantarmu sampai sekolah bukan karena Ayah gak sayang kamu, tapi justru Ayah peduli dengan keadaanmu. Ayah gak mau kamu diejek karena punya Ayah yang cuma bisa mengantarkanmu hanya dengan naik sepeda."
Oke, fiks, Ayah memang sengaja ingin membuatku menangis. Aku memang sama sekali tidak menyangka akan seperti itu jawaban Ayah. Ternyata salahku juga yang tidak pernah bertanya secara langsung selama bertahun-tahun dan membuat kami justru jauh.
"Dan satu hal yang kamu tahu, Ayah sengaja tidak membeli motor, meski Ayah bisa. Uangnya waktu itu Ayah simpan untuk tabungan pendidikan kamu, meski Ayah pun tahu kamu bisa kuliah dengan beasiswa. Tak apa Ayah ke mana-mana dengan angkutan umum, bahkan sepeda sekali pun, demi kesuksesan kamu. Kini Ayah bangga sama kamu."
Akhirnya air mataku menetes juga. Kenapa Ayah sanggup berbohong bertahun-tahun, bahkan dia rela menanggung kebenciaan dariku.
"Ayah, aku minta maaf tidak pernah mau memahami Ayah lebih dalam."
"Tidak-tidak. Harusnya Ayah yang minta maaf karena tidak pernah menjadi Ayah sempurna untuk kamu. Selalu bikin kamu kecewa."
Kini gantian aku yang menggenggam tangan Ayah. "Seperti kata Ayah tadi, dari rasa kecewa justru kita belajar untuk lebih baik lagi."
"Kalau begitu, terima kasih sudah mau menjadi teman perubahan."
Kali ini aku tidak mengerti mengapa hatiku terasa begitu lapang, tenang. Mungkin karena aku tidak lagi menyimpan amarah pada Ayah.
Sesaat setelah keluar dalam perjalanan pulang, aku bertanya pada satu hal lagi pada Ayah. "Kenapa Ayah lebih memilih isi bensin di sini? Padahal ada SPBU baru yang harganya lebih murah."
"Hal-hal baru biasanya begitu. Menggoda dengan yang lebih murah untuk taktik awal. Tapi Ayah lebih percaya sama sesuatu yang sudah menemani Ayah lebih lama, dan membuat Ayah berani beralih, berinovasi menjadi lebih baik untuk membahagiakan kamu. Memang, banyak orang yang mungkin kecewa pada Pertamina jika terjadi kelangkaan bahan bakar. Tapi sama seperti Ayah membuatmu kecewa, Pertamina sebenarnya tidak pernah diam meski terlihat diam. Pertamina justru berjuang mati-matian untuk masyarakat Indonesia sama seperti Ayah yang berjuang untuk membahagiakan kamu. Dan, satu hal yang harus kamu tahu, berani beralih itu memang bikin kita keluar dari zona aman, tapi percayalah ini untuk kebaikan kita. Karena 60 Tahun Pertamina telah menjadi teman perubahan bagi keluarga Indonesia."
Setelah mendengar ucapan Ayah barusan, kupeluk Ayah erat-erat seolah kami ini baru pertama kali berpelukan.
Semua hal di dunia ini pernah mengecewakan, tetapi justru dari orang yang dikecewakan, mereka belajar untuk bangkit menciptakan perubahan.
Terima kasih Pertamina. 60 Tahun sudah menjadi teman perubahan bagi keluarga Indonesia.
Aku, energi negeri.
Anggrek Lestari
CATATAN: Gambar Ilustrasi oleh: RevanZanwar
Komentar
@MianRasti: Terima kasih sudah membaca yah.
@Jenny: Aku nulis ini juga mewek banget!
TApi emang benar. Kecewa adalah teman yang paling baik ntuk membuat kita berubah mnjdi lebih baik, wlau awalnya nyakitin hati. Tapi tidak ada perubahan tnpa hati trasa sakit, bukan?