Cerpen "Mereka Bilang, Saya Monyet!" Potret Kebinatangan dalam Diri Manusia





Zaman yang semakin berkembang menjejali anak bangsa (khususnya Indonesia) dengan kehidupan urban tanpa bisa dibendung. Budaya luar seperti budaya Barat yang masuk seakan diserap tanpa disaring oleh masyarakat hingga akhirnya menjadi darah daging, meski budaya Barat itu tak sesuai  dan awalnya masih dianggap tabu oleh masyarakat Indonesia itu sendiri. 
Contohnya mengenai kebiasaan ke bar, diskotik, clubbing yang tak bisa terpisahkan dari minuman beralkohol, narkoba, dan yang lebih memprihatinkan yaitu embel-embel seks yang tak ketinggalan. Namun bagi sebagian masyarakat, khususnya masyarakat berstatus sosial kelas bawah dan menengah hal tersebut masih dianggap tabu. Sehingga pada akhirnya kemunafikan menguap dimana-mana. Masyarakat "yang sudah terbiasa" menyembunyikan hal yang dianggap tabu oleh sebagian masyarakat yang lainnya, berharap masih dianggap suci.

Kemunafikan masyarakat urban menarik sekali untuk diperbincangkan. Kemunafikan menyebabkan kegelisahan. Untuk itu, saya mencoba mengkaji cerpen "Mereka Bilang, Saya Monyet!" karya Djenar Maesa Ayu yang pernah diterbitkan di Jurnal Cerpen Indonesia edisi 1, Februari 2002.



Kita bersama dapat melihat kegelisahan tentang kemunafikan kaum urban yang dituliskan oleh Djenar Maesa Ayu. Menurut pendapat Wellek dan Warren (dalam Siswanto, 2008: 13) sastrawan menuliskan kegelisahannya, menganggap kekurangan dan kesengsaraannya sebagai tema karya-karyanya. Hal itulah yang mencoba dituliskan oleh Djenar Maesa Ayu.

Ketika membaca judul cerpen "Mereka Bilang, Saya Monyet" rasa penasaran atas potret kebinatangan dalam diri manusia, mulai muncul. Tokoh 'Saya' dalam cerpen tersebut manusia, namun tokoh 'Mereka' mengatakan kalau 'Saya' monyet.

Cerpen "Mereka Bilang, Saya Monyet" dimulai dengan menampilkan penglihatan Saya sepanjang hidup terhadap manusia yang memiliki fisik "binatang" : "Sepanjang hidup, saya melihat manusia berkaki empat. Berekor anjing, babi, atau kerbau. Berbulu serigala, landak, atau harimau. Dan berkepala ular, banteng, atau keledai".

Lalu di paragraf selanjutnya dijelaskan oleh Saya bahwa yang dilihatnya bukanlah binatang: "Namun tetap saja mereka bukan binatang. Cara mereka menyantap hidangan di depan meja makan sangat benar. Cara mereka berbicara selalu menggunakan bahasa dan sikap yang sopan. Dan mereka membaca buku-buku bermutu. Mereka menulis catatan-catatan penting. Mereka bergaun indah dan berdasi. Bahkan konon mereka mempunyai hati".

Paragraf tersebut juga kita lihat sebagai simbol hidup kaum urban yang kebanyakan kaum intelektual: "Cara mereka berbicara selalu menggunakan bahasa dan sikap yang sopan. Dan mereka membaca buku-buku bermutu. Mereka menulis catatan-catatan penting"  dan hidup berlimpah uang yang menonjolkan sisi glamour: "Mereka bergaun indah dan berdasi".

Hal yang menarik dalam cerpen tersebut adalah peristiwa Saya yang sangat senang dikatakan bahwa Saya adalah seekor monyet. Hal itu dikarenakan monyet adalah binatang yang paling mendekati manusia: "Saya memperhatikan bayangan diri saya di dalam cermin dengan cermat.

Saya berkaki dua, berkepala manusia, tapi menurut mereka saya adalah seekor binatang. Kata mereka saya seekor monyet. Waktu mereka mengatakan itu kepada saya, saya sangat gembira. Saya katakan, jika saya seekor monyet maka saya satu-satunya binatang yang paling mendekati manusia. Berarti derajat saya berada di atas mereka". Sungguh, tokoh Saya tak perlu munafik bahwa dirinya adalah manusia yang memiliki sifat binatang.

Sementara itu, tokoh-tokoh yang lain masih bergelut dalam kemunafikan. Tokoh Saya mencoba  menyampaikan penglihatan bahwa Mereka menyembunyikan kedok sebenarnya, karena Saya tahu siapa Mereka sebenarnya: "Saya tahu persis siapa dirinya. Saya tahu persis si Kepala Anjing berhubungan dengan banyak laki-laki padahal ia sudah bersuami. Saya tahu persis si Kepala Anjing sering mengendus-endus kemaluan si Kepala Serigala. Di depan umum ia hanyalah wanita berkepala anjing dan berbuntut babi yang kerap menyembunyikan buntutnya di kedua belah paha singanya. Di depan umum ia haya penggemar orange juice, dan tidak merokok seperti saya. Tapi ketika ia tidak di depan umum, saya tahu ia mengisap ganja, minum cognac dan menyerepet cocaine lewat kedua lubang hidungnya yang selalu basah."

Begitu juga halnya mengenai kemunafikan tokoh lain,yang menunjukkan sikap berbudaya baik saat berada di tempat umum sehingga tokoh Saya merasa kesal: "saya yakin, pasti tidak ada yang mengira kelakuan Si kepala Buaya dan Si Kepala Ular juga Si Kepala Anjing, bahkan mungkin semua kepala-kepala binatang ini ketika mereka tidak berada di depan umum. Mungkin saya harus mencolok mata mereka hingga buta supaya mereka bisa melihat dunia lewat pintu hati mereka, dan mereka tahu apa yang sebenarnya disebut perasaan!".

Apa yang terjadi dalam cerpen "Mereka Bilang, Saya Monyet!" merupakan hal serupa yang terjadi dalam kehidupan kita sekarang ini. Karya sastra (dalam hal ini dibaca: cerpen) merupakan cermin masyarakat dengan berbagai cara (Marx dan Engels dalam Siwanto, 2008: 7). Ya, banyak potret kebinatangan dalam diri manusia yang dapat kita lihat.

Wujud laki-laki berkepala buaya banyak kita jumpai di kehidupan urban saat ini. Contohnya saja peristiwa pernikahan singkat yang dilakukan pejabat di negara kita, Indonesia. Dan tetap saja, kemunafikan itu terjadi. Laki-laki tersebut memiliki satu pasangan tetap (dibaca: istri pertama) yang digunakan untuk menutupi kedok di depan umum. Seperti yang telah kita ketahui, saat ini buaya menjadi simbol untuk lelaki yang tak hanya puas pada satu wanita yang disebut juga playboy oleh para remaja.

Begitu juga dengan wujud wanita berkepala ular. Ular merupakan simbol untuk kecerdikan dan memiliki racun yang mematikan. Ya, kita mengetahui bersama zaman modern sekarang ini wanita menggunakan kecerdikan dan racunnya yang dibalut rapi dengan kecantikan yang menggoda untuk memperbudak lelaki, dan hal yang lebih memprihatinkan lagi adalah menggunakannya untuk menjual harga diri demi lembaran uang untuk memenuhi kebutuhan hidup urban yang glamour.

Lantas yang menjadi pertanyaan, dimanakah kini esensi hidup yang sebenarnya? Esensi dijabarkan Tuhan melalui kehidupan penuh nikmat di dunia ini? Tanpa bermaksud menggurui, saya sebagai penulis mengajak kita semua sebagai manusia yang berakal dan berperasaan sadar diri bahwa kita adalah manusia,  bukan binatang yang berwujud manusia. Seperti yang dikatakan oleh Marx dan Engels dala The German Ideology (dalam Siswanto, 2008: 57), "bukan kesadaran yang menentukan kehidupan, tapi kehidupanlah yang menentukan kesadaran. Bukanlah kesadaran manusia yang menentukan keberadaan mereka, melainkan keberadaan sosial yang menentukan kesadaran mereka".

Akhirnya, tanpa bermaksud menggurui lagi, semoga kita sadar bahwa roda kehidupan semakin kencang berputar di zaman yang semakin canggih ini. Jika hanya diam, pasrah dengan terus menyerap budaya asing tanpa menyaring, maka akan merasuki tubuh. Pastilah, kita tidak akan mau menjadi boneka zaman modernisasi yang dipenuhi kemunafikan, menjadikan diri kehilangan identitas diri, kehilangan budaya bangsa sendiri, Indonesia.
***

Anggrek Lestari
(Dimuat di Rubrik Art & Culture, Harian MedanBisnis, Minggu, 17 Februari 2013)

Komentar

Menu yang Paling Banyak Dinikmati